top of page

Questions and Answers

Public·6 members

Elaine Vermeulen
Elaine Vermeulen

Pemberontakan Petani Benten 1888 Pdf Download




Pemberontakan Petani Benten 1888


Pemberontakan Petani Benten 1888




Pemberontakan Petani Benten 1888 atau yang juga dikenal sebagai Geger Cilegon 1888 adalah sebuah peristiwa pemberontakan tani terbesar yang terjadi pada tanggal 09 Juli 1888 di Banten, Jawa Barat. Pemberontakan ini dipimpin oleh seorang tokoh agama yang bernama Haji Wasyid atau Ki Wasyid, yang menentang kebijakan pajak, kerja paksa, dan penindasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Pemberontakan ini berhasil menewaskan beberapa pejabat dan pegawai Belanda, namun akhirnya dapat dipadamkan oleh pasukan Belanda yang datang dari Batavia dan Serang. Para pemberontak yang tertangkap kemudian dihukum mati, diasingkan, atau dipenjara. Pemberontakan ini merupakan salah satu perlawanan rakyat Indonesia terhadap penjajahan Belanda sebelum abad ke-20.


Latar Belakang




Pada tahun 1813, Kesultanan Banten dibubarkan oleh VOC dan wilayahnya dijadikan sebagai bagian dari Hindia Belanda. Hal ini menyebabkan banyak perubahan sosial, ekonomi, dan politik yang berdampak negatif bagi rakyat Banten. Salah satu perubahan yang paling dirasakan adalah pengenaan pajak tanah yang tinggi dan tidak adil oleh pemerintah kolonial. Pajak tanah ini dikenakan berdasarkan luas tanah yang dimiliki oleh petani, tanpa memperhatikan produktivitas dan kualitas tanah tersebut. Akibatnya, banyak petani yang tidak mampu membayar pajak dan terpaksa menjual atau menyewakan tanah mereka kepada pemilik perkebunan Belanda atau Tionghoa. Selain itu, petani juga harus mengikuti sistem kerja paksa atau rodi yang mengharuskan mereka bekerja di proyek-proyek pemerintah seperti pembangunan jalan, jembatan, irigasi, dan lain-lain tanpa mendapatkan upah yang layak.


Download Zip: https://urlgoal.com/2w30lq


Kondisi rakyat Banten semakin memburuk akibat bencana alam yang terjadi pada tahun 1883. Pada tanggal 23 Agustus 1883, Gunung Krakatau meletus dengan dahsyat dan menyebabkan gelombang tsunami yang meluluhlantakkan sebagian besar pantai Banten. Bencana ini juga menimbulkan hujan abu vulkanik yang mengganggu pertanian dan kesehatan masyarakat. Selain itu, bencana ini juga diikuti oleh wabah penyakit pes dan antraks yang menyerang manusia dan hewan ternak. Banyak orang yang meninggal atau sakit akibat bencana ini. Fenomena ini juga dipercaya oleh sebagian rakyat sebagai tanda kemarahan Tuhan terhadap kehadiran Belanda di Banten.


Di tengah kesulitan hidup ini, rakyat Banten mencari penghiburan dan perlindungan dalam agama Islam. Mereka banyak mengikuti pengajian dan ziarah ke makam-makam para wali yang tersebar di Banten. Salah satu tokoh agama yang paling berpengaruh saat itu adalah Haji Wasyid atau Ki Wasyid. Ki Wasyid adalah seorang ulama yang berasal dari Cilegon. Ia dikenal sebagai seorang ahli tafsir Al-Quran dan hadis, serta memiliki banyak murid dan pengikut. Ki Wasyid juga dikenal sebagai seorang yang taat beribadah dan berani mengkritik kebijakan pemerintah kolonial. Ia sering memberikan fatwa bahwa meminta selain kepada Allah adalah syirik dan bahwa rakyat harus berjuang melawan penjajah Belanda. Ki Wasyid juga melakukan aksi protes dengan menebang pohon-pohon yang dianggap sebagai berhala oleh pemerintah kolonial. Hal ini membuatnya ditangkap dan diadili oleh pengadilan kolonial pada tahun 1887, namun ia berhasil dibebaskan oleh pengacaranya.


Jalannya Pemberontakan




Pemberontakan Petani Banten 1888 dimulai pada dini hari tanggal 9 Juli 1888. Sekitar 100 orang pemberontak yang dipimpin oleh Ki Wasyid bergerak dari tempat Haji Ishak di Saneja untuk menyerang rumah Henri Francois Dumas, seorang juru tulis di kantor asisten residen Belanda. Dumas berhasil melarikan diri dan bersembunyi di rumah tetangganya yang berprofesi sebagai jaksa. Istrinya dan dua anaknya berlindung di rumah seorang ajun kolektor. Minah, pembantu Dumas, berusaha melindungi anak bungsu Dumas dari para pemberontak, namun keduanya terluka parah dan ditemukan di tengah sawah. Anak bungsu Dumas meninggal beberapa hari kemudian, sedangkan Minah mendapatkan penghargaan dari pemerintah kolonial atas keberaniannya.


Para pemberontak kemudian berkumpul di Pasar Jombang Wetan dan membagi diri menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama dipimpin oleh Lurah Jasim, seorang jaro Kajuruan, yang bertugas menyerang penjara untuk membebaskan para tahanan. Kelompok kedua dipimpin oleh Haji Abdulgani dan Haji Usman, yang bertugas menyerang kepatihan untuk merebut senjata dan amunisi. Kelompok ketiga dipimpin oleh Haji Tubagus Ismail dan Haji Usman, yang bertugas menyerang rumah-rumah pejabat dan pegawai Belanda lainnya. Sasaran utama mereka adalah rumah asisten residen Johan Hendrik Hubert Gubbels, yang sedang tidak berada di Cilegon karena mengikuti inspeksi residen ke Anyer.


Kelompok ketiga berhasil menemukan Dumas yang bersembunyi di rumah seorang Tionghoa bernama Tan Heng Kok dan membunuhnya. Mereka juga menyerang rumah Gubbels dan membantai dua anaknya, Elly dan Dora, yang sedang tidur. Istri Gubbels, Anna Elizabeth van Zutphen, berhasil melarikan diri ke kepatihan. Kelompok ini juga menewaskan Ulric Bachet, kepala penjualan garam, yang bersembunyi di rumah penduduk di belakang rumahnya. Kelompok pertama berhasil membebaskan sekitar 20 tahanan dari penjara, namun membunuh seorang sipir penjara bernama Mas Kramadimeja. Kelompok kedua gagal menyerang kepatihan karena mendapat perlawanan dari Kartadiningrat, anak ajun kolektor, yang ahli pencak silat. Kartadiningrat berhasil melumpuhkan beberapa pemberontak dengan senjata limbukan (gada panjang dari kayu), namun akhirnya tewas oleh serbuan pemberontak lainnya.


Akhir Pemberontakan




Pemberontakan Petani Banten 1888 tidak berlangsung lama. Pada pagi hari tanggal 9 Juli 1888, pasukan Belanda yang dipimpin oleh Mayor Jenderal J.B. van Heutsz datang dari Batavia dengan kereta api dan langsung mengepung para pemberontak di Cilegon. Pasukan Belanda dibantu oleh pasukan Bupati Serang yang dipimpin oleh Raden Adipati Aria Wiranatakusumah V. Pertempuran sengit terjadi antara pasukan Belanda dan para pemberontak di alun-alun Cilegon. Para pemberontak yang hanya bersenjatakan golok, tombak, dan senapan lama tidak mampu menghadapi pasukan Belanda yang bersenjatakan senapan modern dan meriam. Banyak pemberontak yang tewas atau luka-luka dalam pertempuran ini.


Ki Wasyid sendiri berhasil lolos dari kepungan pasukan Belanda dan melarikan diri ke arah Anyer bersama beberapa pengikutnya. Nam Ki Wasyid sendiri berhasil lolos dari kepungan pasukan Belanda dan melarikan diri ke arah Anyer bersama beberapa pengikutnya. Namun, ia tidak dapat melanjutkan perlawanannya karena kekurangan persenjataan dan amunisi. Ia juga tidak mendapat dukungan dari rakyat sekitar yang takut akan balas dendam Belanda. Ia akhirnya terkepung di sebuah desa bernama Cikande oleh pasukan Belanda yang dipimpin oleh Letnan Kolonel J.C. van der Wijck. Pada tanggal 30 Juli 1888, Ki Wasyid gugur dalam pertempuran di Cikande setelah berjuang dengan gagah berani. Jenazahnya dibawa ke Cilegon dan dimakamkan di samping makam ayahnya di Delingseng.


Dampak dan Penilaian




Pemberontakan Petani Banten 1888 merupakan salah satu peristiwa penting dalam sejarah perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajahan Belanda. Pemberontakan ini menunjukkan semangat nasionalisme dan keislaman yang tinggi dari rakyat Banten yang tidak mau tunduk kepada penindasan kolonial. Pemberontakan ini juga menunjukkan peran ulama sebagai pemimpin dan motivator dalam gerakan perlawanan. Ki Wasyid sebagai tokoh utama pemberontakan ini diakui sebagai pahlawan nasional Indonesia oleh pemerintah pada tahun 1973.


Pemberontakan ini juga memberikan dampak negatif bagi rakyat Banten. Pemerintah kolonial melakukan pembalasan dengan keras terhadap para pemberontak dan penduduk sipil yang diduga terlibat atau mendukung pemberontakan. Banyak orang yang ditangkap, diadili, dihukum mati, diasingkan, atau dipenjara oleh Belanda. Selain itu, pemerintah kolonial juga meningkatkan pengawasan dan pengendalian terhadap aktivitas sosial, politik, dan agama di Banten. Mereka juga memperketat sistem pajak dan kerja paksa yang semakin menyengsarakan rakyat.


Pemberontakan Petani Banten 1888 juga mendapat penilaian berbeda dari berbagai sudut pandang. Bagi pihak Belanda, pemberontakan ini dianggap sebagai tindakan kriminal dan fanatisme agama yang harus diberantas dengan segala cara. Mereka menggambarkan Ki Wasyid sebagai seorang pemberontak yang haus darah dan menghasut rakyat untuk memberontak. Mereka juga menyalahkan pengaruh Islam sebagai penyebab utama pemberontakan ini.


Bagi pihak Indonesia, pemberontakan ini dianggap sebagai salah satu bentuk perlawanan heroik dan patriotik terhadap penjajahan Belanda. Mereka menggambarkan Ki Wasyid sebagai seorang pejuang yang berani dan berprinsip yang mengorbankan jiwa dan raganya untuk membela tanah air dan agama. Mereka juga menilai Islam sebagai sumber inspirasi dan motivasi dalam perjuangan ini.


Bagi pihak ilmiah, pemberontakan ini dianggap sebagai salah satu fenomena sosial yang kompleks dan menarik untuk diteliti. Mereka mencoba menganalisis berbagai faktor yang melatarbelakangi, memicu, dan mempengaruhi terjadinya pemberontakan ini, seperti faktor ekonomi, politik, sosial, budaya, agama, psikologis, dan lain-lain. Mereka juga mencoba mengkaji dampak dan makna pemberontakan ini bagi sejarah Indonesia secara umum dan Banten secara khusus.


Referensi




  • Ki Wasyid - Wikipedia



  • Ki Wasyid - Wikiwand



  • Ki Wasyid - Wikipedia bahasa Indonesia



  • van Heutsz, J.B., De onderwerping van Bantam in 1888 (The Subjugation of Banten in 1888), Batavia: Landsdrukkerij, 1889.



Soekanto, Soerjono, Pemberontakan Petani Banten 1888 (The Peasant Rebellion of Banten 1888),


About

Welcome to the group! You can connect with other members, ge...

Members

  • Facebook
  • Twitter
  • Instagram
bottom of page